konsep dasar etika dan moral

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengertian etika sering kali disamakan dengan pengertian moral. Yang dimaksud ajaran moral adalah wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan ia bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran moral. Oleh karena itu harus dibedakan dengan ajaran moral.

Definisi etika bisnis sendiri sangat beraneka ragam tetapi memiliki satu pengertian yang sama, yaitu pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal dan secara ekonomi/sosial, dan penerapan norma dan moralitas ini menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis (Muslich,1998:4). Ada juga yang mendefinisikan etika bisnis sebagai batasanbatasan sosial, ekonomi, dan hukum yang bersumber dari nilai-nilai moral masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan oleh perusahaan dalam setiap aktivitasnya (Amirullah & Imam Hardjanto, 2005).

BAB II

PEMBAHASAN

 

Pengertian Moral dan Etika

Etika

Kata etika, seringkali disebut pula dengan kata etik, atau ethics (bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian.

Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.

 

Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan, dan kadang-kadang orang memakai filsafat etika, filsafat moral atau filsafat susila. Dengan demikian dapat dikatakan, etika ialah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia dan halhal yang baik dan buruk. Etika adalah penyelidikan filsafat bidang moral. Etika tidak membahas keadaan manusia, melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia itu berlaku benar. Etika juga merupakan filsafat praxis manusia. etika adalah cabang dariaksiologi, yaitu ilmu tentang nilai, yang menitikberatkan pada pencarian salah dan benar dalam pengertian lain tentang moral.

Moral 

Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab.Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moralisasi,berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi,berarti kerusakan moral.

 

Menurut asal katanya “moral” dari kata mores dari bahasa Latin, kemudianditerjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”. Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengankesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun dan tidakcabul. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatantingkah laku yang baik. Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta, su artinya “lebih baik”, silaberarti “dasar-dasar”, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup. Jadi susila berartiperaturan-peraturan hidup yang lebih baik.

 

Pengertian moral dibedakan dengan pengertian kelaziman, meskipun dalam praktekkehidupan sehari-hari kedua pengertian itu tidak jelas batas-batasnya. Kelaziman adalahkebiasaan yang baik tanpa pikiran panjang dianggap baik, layak, sopan santun, tata krama,dsb. Jadi, kelaziman itu merupakan norma-norma yang diikuti tanpa berpikir panjangdianggap baik, yang berdasarkan kebiasaan atau tradisi.

 Macam-macam etika dan mora

Etika

Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam:

  1. etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaianperbuatan seseorang.
  2. etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya, seseorang dikatakan etisapabila orang tersebut telah berbuat kebajikan.
  3. etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.

 

Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan(1988), etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu;

  1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral(akhlak).
  2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
  3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

 

Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurut beliau etikaberasal dati istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adapt-istiadat atau kebiasaan yangbaik. Bertolak dari pengertian tersebut, etika berkembang menjadi study tentang kebiasaanmanusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang

menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu,etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkankodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti

tadi, etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.

  1. Etika Perangai

Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran perangai manusiadalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etikaperangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasilpenilaian perilaku.

Contoh etika perangai:

– berbusana adat

– pergaulan muda-mudi

– perkawinan semenda

– upacara adat

  1. Etika Moral

Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodratmanusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dantidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral.

Contoh etika moral:

– berkata dan berbuat jujur

– menghargai hak orang lain

– menghormati orangtua dan guru

– membela kebenaran dan keadilan

– menyantuni anak yatim/piatu.

Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran, dankesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan, manusia selalu dikehendaki denganbaik dan tidak baik, antara benar dan tidak benar. Dengan demikian ia mempertanggungjawabkan pilihan yang telah dipilihnya itu. Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk

berbuat baik dan benar. Apabila manusia melakukan pelanggaran etika moral, berarti diaberkehendak melakukan kejahatan, dengan sendirinya berkehandak untuk di hukum. Dalamkehidupan bermasyarakat dan bernegara, nilai moral dijadikan dasar hukum positif yangdibuat oleh penguasa.

Etika Pribadi dan Etika Social

Dalam kehidupan masyarakat kita mengenal etika pribadi dan etika social. Untukmengetahui etika pribadi dan etika social diberikan contoh sebagai berikut:

1) Etika Pribadi. Misalnya seorang yang berhasil dibidang usaha (wiraswasta) dan menjadiseseorang yang kaya raya (jutawan). Ia disibukkan dengan usahanya sehinnga ia lupa akan diri pribadinya sebagai hamba Tuhan. Ia mempergunakan untuk keperluan-keperluan hal-hal

yang tidak terpuji dimata masyarakat (mabuk-mabukan, suka mengganggu ketentramankeluarga orang lain). Dari segi usaha ia memang berhasil mengembangkan usahanyasehinnga ia menjadi jutawan, tetapi ia tidak berhasil dalam emngembangkan etika pribadinya.

2) Etika Social. Misalnya seorang pejabat pemerintah (Negara) dipercaya untuk mengelolauang negara. Uang milik Negara berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Pejabat tersebutternyata melakukan penggelapan uang Negara utnuk kepentingan pribadinya, dan tidak dapatmempertanggungjawabkan uang yang dipakainya itu kepada pemerintah. Perbuatan pejabattersebut adalah perbuatan yang merusak etika social.

 

  1. Moral

Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatupengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
  2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama,adat, yang menguasai pemutaran manusia.

 

FAKTOR PENENTU MORALITAS

Sumaryono (1995) mengemukakan tiga factor penentu moralitas perbuatan manusia, yaitu:

  1. Motivasi
  2. Tujuan akhir
  3. Lingkungan perbuatan

Perbuatan manusia dikatakan baik apabila motivasi, tujuan akhir dan lingkungannyajuga baik. Apabila salah satu factor penentu itu tidak baik, maka keseluruhan perbuatanmanusia menjadi tidak baik.

Motivasi adalah hal yang diinginkan para pelaku perbuatan dengan maksud untukmencapai sasaran yang hendak dituju. Jadi, motivasi itu dikehendaki secara sadar, sehinggamenentukan kadar moralitas perbuatan.

Sebagai contoh ialah kasus pembunuhan dalam keluarga:

  • yang diinginkan pembunuh adalah matinya pemilik harta yang berstatus sebagai pewaris
  • Sasaran yang hendak dicapai adalah penguasa harta warisan
  • Moralitas perbuatan adalah salah dan jahat

Tujuan akhir (sasaran) adalah diwujudkannya perbuatan yang dikehendakinya secarabebas. Moralitas perbuatan ada dalam kehendak. Perbuatan itu menjadi objek perhatiankehendak, artinya memang dikehendaki oleh pelakunya. Sebagai contoh, ialah kasus dalampembunuhan keluarga yang dikemukakan diatas:

  • perbuatan yang dikehendaki dengan bebas (tanpa paksaan) adalah membunuh.
  • diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu matinya pemilik harta (pewaris)
  • moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan jahat dan salah.

Lingkungan perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental mengelilingi ataumewarnai perbuatan. Termasuk dalam pengertian lingkungan perbuatan adalah:

  • manusia yang terlihat
  • kualiitas dan kuantitas perbuatan
  • cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan
  • frekuensi perbuatan

Hal-hal ini dapat diperhitungkan sebelumnya atau dapat dikehendaki ada padaperbuatan yang dilakukan secara sadar. Lingkungan ini menentukan kadar moralitasperbuatan yaitu baik atau jahat, benar atau salah.

 

MORALITAS SEBAGAI NORMA

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, moralitas adalah kualitas perbuatanmanusiawi, sehingga perbuatan dikatakan baik atau buruk, benar atau salah. Penentuan baikatau buruk, benar atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran. Sumaryono (1995)mengklasifikasikan moralitas menjadi dua golongan, yaitu:

  1. Moralitas objektif

Moralitas objektif adalah moralitas yang terlihat pada perbuatan sebagaimana adanya,terlepas dari bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya. Moralitas ini dinyatakan darisemua kondisi subjektif khusus pelakunya. Misalnya, kondisi emosional yangmungkinmenyebabkan pelakunya lepas control. Apakah perbuatan itu memang dikehendaki

atau tidak. Moralitas objektif sebagai norama berhubungan dengan semua perbuatan yang

hakekatnya baik atau jahat, benar atau salah. Misalnya:

– menolong sesama manusia adalah perbuatan baik

– mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat

Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapatdibenarkan jika untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi moralitasnya terletakpada upaya untuk mempertahankan hidup atau membela diri (hak utnuk hidup adalah hakasasi).

  1. Moralitas subjektif

Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan dipengaruhi oleh pengetahuahdan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya.

Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak denga suara hati nuranipelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhebungan dengan semua perbuatan yangdiwarnai nait pelakunya, niat baik atau niat buruk. Dalam musibah kebakaran misalnya,banyak orang membantu menyelamatkan harta benda korban, ini adalah niat baik. Tetapi jikatujuan akhirnya adalah mencuri harta benda karena tak ada yang melihat, maka perbuatantersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelaku.

Moralitas dapat juga instrinsik atau ekstrinsik. Moralitas instrinsik menentukn perbuatan itubenar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hokum positif. Artinya,penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan hokumpositif. Misalnya:

  • gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal
  • jangan menyusahkan orang lain
  • berikanlah yang terbaik

Walupun Undang-undang tidak mengatur perbuatan-perbuatan tersebut secara instrinsikmenurut hakekatnya adalah baik dan benar.

Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnyasebagai perintah atau larangan dalam bentuk hokum positif. Misalnya:

  • larangan menggugurkan kandungan
  • wajib melaporkan mufakat jahat

Perbuatan-perbuatan itu diatur oleh Undang-undang (KUHP). Jika ada yang menggugurkankandungan atau ada mufakat jahat berarti itu perbuatan salah.Pada zaman modern muali muncul perbuatan yang berkenaan dengan moralitas, yang tadinyadilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya:

  • Euthanasia untuk menghindarkan penderitaan berkepanjangan.
  • Aborsi untuk menyelamatkan ibu yang hamil.
  • Menyewa rahim wanita lain untuk membesarkan janin bayi tabung.

 

  1. Moral dan Etika dalam dunia bisnis
  1. Moral Dalam Dunia Bisnis

Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang dan dengandiperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000 menjadi daerahperdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan semakin “kabur” (borderless)world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untukmendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadang kala untukmendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segalacara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.

Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan waktu sertanegara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang salingmenguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan oleh pemimpinAPEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan internasionalumumnya dihinggapi kehendak saling “menindas” agar memperoleh tingkat keuntungan yangberlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.

Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia bisnis kita mampumenciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yangseiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusahagolongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan ?Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya,artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budayayang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnyauntuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungandalam ber-“bisnis”. Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pastimemberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukantransaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasapuas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerjasama yang erat saling menguntungkan.

Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamintingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu ini dibicarakan?Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangidengan dunia bisnis yang ber “moral”, dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang dikuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHNuntuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.

Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telahmengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpujidalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisaditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu.Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianutbudaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Etika Dalam Dunia Bisnis

Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etikabertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semuaanggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.

Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing danmengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harusselalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati olehorang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.Mengapa ?

Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha,tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untukmewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak,baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihaksaja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan.Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral danetika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan.

Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanyakepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yangmengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah

  • Pengendalian diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri merekamasing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan maincurang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang danmenakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itumerupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisimasyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.

  • Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalambentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinyasebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkatharga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulianbagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntunganyang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampumengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakatsekitarnya.

  • Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnyaperkembangan informasi dan teknologiBukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi danteknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemahdan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
  • Menciptakan persaingan yang sehat. Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapipersaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yangerat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga denganperkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadapperkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatankekuatanyang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
  • Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapiperlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelaspelaku bisnis dituntut tidak meng-“ekspoitasi” lingkungan dan keadaan saat sekarangsemaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datangwalaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
  • Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadilagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curangdalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
  • Mampu menyatakan yang benar itu benar

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh)karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi”serta melakukan “kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untukmengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.

  • Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan

pengusaha kebawahUntuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada saling percaya (trust) antaragolongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemahmampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan.Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudahwaktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang danberkiprah dalam dunia bisnis.

  • Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersamaSemua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiaporang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainyasemua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”, baik pengusaha sendirimaupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan “kecurangan” demi kepentingan pribadi,jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu semi satu.
  • Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakatiJika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentramandan kenyamanan dalam berbisnis.
  • Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undanganHal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti “proteksi” terhadappengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarangini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnyaperkembangan globalisasi dimuka bumi ini.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

  1. KESIMPULAN

 

Etika bisnis adalah penerapan etika dalam menjalankan kegiatan suatu bisnis.Pada dasarnya tujuan bisnis adalah memperoleh keuntungan, tetapi harus berdasarkannorma-norma hukum yang berlaku. Norma hukum bisnis mengatur mana yang bolehdan mana yang tidak boleh dilakukan.

 

Untuk menjaga citra suatu perusahaan bisnis yang akan dijalankan, bisnis perludidasarkan dengan moral. Sebagaimana moral dapat mencerminkan baik buruknyasuatu perusahaan.moral memang sangat penting terhadap citrasuatu perusahaan. Perusahaan yang berasaskan moral yang baik maka perusahaantersebut juga dapat dikatakan baik, sebaliknya bila moral perusahaan tersebut burukmaka perusahaan tersebut dikatakan buruk. Hal tersebut dinilai oleh masyarakat

 

  1. SARAN

 

Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti “proteksi” terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA